Tuduhan bahwa pembukaan lahan kelapa sawit cenderung berada di di hutan primer, tidak sepenuhnya benar. Dalam penelitian Tropenbos International, pelaku sawit di Sumatera dan Kalimantan mengkonversi lahan untuk kebun yang berasal dari lahan pertanian, hutan sekunder, dan lahan marginal. Ini berarti, isu negatif bahwa kelapa sawit penyumbang deforestasi mesti dipertanyakan kembali.

Sepanjang dua dekade terakhir dari tahun 1990-2010, pengembangan perkebunan kelapa sawit lebih banyak berada di lahan pertanian, hutan sekunder (disturbed forest), dan lahan marginal. Bukan dominan berada di hutan primer (undisturbed forest) sebagaimana yang selama ini dituduhkan negara lain dan LSM lingkungan hidup. Fakta ini terangkum dalam penelitian yang berjudul Analisis Penutupan Lahan dan Perubahannya Menjadi Kelapa Sawit di Indonesia: Studi Kasus di 5 Pulau Besar di Indonesia Periode 1990-2010. Kegiatan penelitian ini merupakan hasil kerjas keras dari Petrus Gunarso bersama dua orang peneliti lain yaitu Manjela Eko Hartoyo dan Yuli Nugroho, yang berasal dari Tropenbos International.

Riset ini dapat menjawab isu negatif yang selama ini terbentuk di masyarakat bahwa kelapa sawit penyebab utama deforestasi di hutan primer. Isu ini seringkali dihembuskan kalangan NGO lingkungan hidup. Hasil riset Petrus Gunarso dan teman-teman ini meng-counter pula studi Dr. David S. Wilcove, ahli biologi Princenton University dan Dr. Lian Pin Koh, conservation ecologist, yang berjudul Is Oil Palm Agriculture Really Destroying Tropical Biodiversity?.

Studi Wilcove dan Koh yang dilakukan pada 2008 ini menggunakan analisa tutupan lahan dengan berdasarkan kepada data Food and Agriculture Organization (FAO) pada periode 1990-2005 mengenai kawasan hutan dan lahan pertanian. Penelitian menyebutkan konversi perkebunan sawit yang dibangun pada kawasan hutan primer dan sekunder mencapai 56% atau setara dengan 1,7 juta hektare. Kendati studi ini belum membedakan tutupan lahan antara hutan primer dan sekunder.

Sementara itu, dalam penelitian Petrus Gunarso dkk yang menganalisa tutupan dan perubahan hutan maupun lahan yang berubah menjadi perkebunan sawit dengan rangkaian waktu 1990,2000, 2005, dan 2010. Objek dari studi ini adalah Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, dan Papua. Studi memberikan informasi mengenai perkembangan perkebunan sawit baik dari hutan yang tidak terganggu (primer), hutan yang terganggu (hutan sekunder), lahan kritis atau lahan lain termasuk lahan gambut. Supaya memiliki rincian akurat dilakukan pengklasifikasian terhadap 20 jenis lahan.

Awal penelitian ini dimulai dari periode 1990-2000 yang menunjukkan pengembangan lahan sawit berasal dari hutan sekunder dan hutan primer. Hutan sekunder yang dipergunakan berkisar 921 ribu hektare dimana 61% berada di Sumatera, sementara hutan primer yang terpakai seluas 103 ribu hektare yang sebagian besar berada di Sumatera sekitar 92 ribu hektare. Di luar hutan primer dan sekunder, lebih tinggi penggunaan lahan sawit pada lahan pertanian dan areal lain. Data penelitian Petrus Gunarso menunjukkan pengembangan sawit dari dari areal pertanian, lahan tidak terpakai, dan lahan diperuntukkan untuk hutan tanaman (timber plantation), masing-masing seluas 455 ribu ha, 452 ribu ha, dan 452 ribu ha.

Dalam rentang waktu dari 2000 sampai 2005, sudah terjadi perubahan penutupan lahan menjadi perkebunan sawit seluas 2,2 juta hektare. Di masa tersebut, perkebunan sawit cenderung memanfaatkan lahan pertanian bukan pada hutan primer. Lahan pertanian yang berubah menjadi perkebunan sawit sekitar 1,5 juta hektare. Sementara itu, perubahan dari lahan hutan menjadi perkebunan sawit sekitar 404 ribu hektare.

Pada periode 2005-2010, pengembangan lahan sawit masih dominan di lahan pertanian yang mencapai 1,3 juta hektare. Sementara itu, perubahan tutupan lahan terbesar selanjutnya adalah hutan yang terganggu atau hutan sekunder (disturbed forest) seluas 340 ribu ha, sedangkan pada tipe penutupan lahan marginal (waste land) pada periode ini mencapai 206 ribu ha. Total luas lahan kelapa sawit pada 2010 mencapai 8,07 juta hektare dari tahun 2005 yang seluas 5,3 juta hektare.

Sebenarnya dapat diambil kesimpulan bahwa pelaku sawit menghindari hutan primer dalam pembukaan lahan. Yang lebih memilih penggunaan areal pertanian dan lahan marginal. Memang di daerah Kalimantan dan Papua, konversi hutan primer ke sawit tetap terjadi namun dalam skala kecil. Penelitian Petrus Gunarso ini menunjukkan di seluruh Indonesia jumlah total konversi hutan primer menjadi perkebunan kelapa sawit sekitar 0,71% atau 18.235 hektare (0,71%). Di hutan sekunder, konversi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit berjumlah mencapai 931,900 ha (36%).

Kepada SAWIT INDONESIA, Petrus Gunarso, Direktur Program Tropenbos Indonesia mengatakan penggunaan lahan pertanian seperti di daerah Sumatera terjadi pada perkebunan karet milik rakyat. Ada kemungkinan peralihan ini disebabkan karena masyarakat melihat nilai potensi sawit lebih menguntungkan. Dalam penelitannya, pemakaian perkebunan sawit di lahan tidak berguna (waste land) karena umumnya tidak ada pengelolaan, dan sejumlah kecil dari hutan sekunder.

Di level internasional, Petrus Gunarso menjalin kerjasama denga tiga peneliti yaitu Manjela Eko Hartoyo, Fahmudin Agus, dan Timothy J Killeen. Studi ini meliputi tiga negara Indonesia, Malaysia, dan Papua Nugini yang mendalami perubahan penutupan lahan menjadi perkebunan sawit yang diklasifikasikan dalam 22 kelas penutupan lahan.
“Riset kami ini telah dirilis di website RSPO yang membutuhkan waktu dua tahun untuk diselesaikan. Supaya hasil penelitian lebih akurat dipakai analisis citra satelit dengan on screen digitation – bukan otomated classification – karena akan diketahui mana hutan primer dan lahan terdegradasi,” ujar Petrus kepada SAWIT INDONESIA.

Yang menarik,penelitian ini memperoleh data bahwa 36,5% pembukaan lahan dari 1990-2010 di tiga negara tadi berasal dari dataran tinggi, rawa, lahan pertanian dan hutan sekunder. Hanya 0,1% hutan primer yang digunakan bagi perkebunan sawit dan 0,4% konversi lahan gambut ke perkebunan sawit. Hal ini semakin memperkuat fakta bahwa tidak benar kebun sawit merusak hutan primer dalam skala massif.

Beberapa waktu lalu, Bambang Soepijanto, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan, mengatakan sesuai UU Nomor 41 mengenai kawasan HPK dapat dikonversi bagi peruntukkan non-kehutanan, melalui ijin pelepasan kawasan hutan. Oleh karena itu, negara berkewajiban untuk mengalokasikan kawasan HPK dan mengeluarkan ijin pelepasan.

Ditambahkan Bambang Soepijanto, kampanye deforestasi yang dipakai untuk menekan Indonesia pada dasarnya adalah misleading. Karena, selama penduduk Indonesia bertambah yang berarti tetap membutuhkan tambahan ruang yang itu dari HPK.

Firman Subagyo , Wakil Ketua Komisi IV DPR, mengapresiasi data penelitian yang menunjukkan kecilnya konversi hutan primer menjadi lahan sawit akan menangkis kampanye negatif dari NGO. Pemerintah sebaiknya memanfaatkan data ini untuk membela sawit di mata dunia. Karena kampanye kerusakan hutan primer sudah mampu dijawab lewat data penelitian yang sahih dan valid.

Menurutnya, kampanye negatif muncul akibat ketakutan negara maju yang juga produsen minyak nabati seperti minyak kedelai dan minyak kanola terhadap produk kelapa sawit Indonesia. Mesti diingat, produktivitas CPO lebih tinggi dari minyak nabati lain serta harganya lebih bersaing. Akibatnya, banyak muncul isu negatif dan regulasi yang bersifat menghambat perdagangan CPO oleh negara maju.

“Jika kampanye negatif makin gencar, pemerintah maupun pelaku usaha sebaiknya mensomasi NGO karena merugikan iklim usaha lewat kampanye hitam.Sebenarnya, NGO ini memainkan peran untuk mematikan industri strategis Indonesia seperti sawit dan tembakau,” pungkas politisi Partai Golkar ini. (Qayuum Amri)

PENAWARAN kHUSUS bAGI ANDA YANG MENCARI BENIH SAWIT UNGGUL KAMI MENYEDIAKANNYA.

PPKSBENIH SAWIT PPKS : ISI 250 BIJI

UNTUK HARGA / KETERSEDIAAN BARANG SILAHKAN SMS KE 081278351356 / 087899161334 – BPK ROYAN – NO CALL

SOCFINDO

BENIH SAWIT SOCFINDO : ISI 250 BIJI

UNTUK HARGA / KETERSEDIAAN BARANG SILAHKAN SMS KE 081278351356 / 087899161334 – BPK ROYAN – NO CALL

BENIH LONSUM

UNTUK HARGA / KETERSEDIAAN BARANG SILAHKAN SMS KE 081278351356 / 087899161334 – BPK ROYAN – NO CALL

TUNGGU APA LAGI PESAN SEKARANG JUGA. PILIH BENIH YANG BERKUALITAS UNTUK MASA DEPAN INVESTASI ANDA.KARENA HARGA SAWIT DARI TAHUN MENGALAMI KENAIKAN

Cara Pemesanan : SMS ke 081278351356 / 087899161334, tuliskan : Pesan BENIH LONSUM, Jumlah yang dipesan, Nama Anda dan Alamat Kirim Lengkap (untuk menentukan ongkos kirim)

Contoh SMS :
Pesan BENIH LONSUM, 4 bungkus , Tono, Jl. Kalibaru Timur Rt 004/01 Pasar Nangka Kel. Utan Panjang Kec. Kemayoran, Jakarta 10620

Dan Kami akan membalas sms Anda untuk Data transfer dan konfirmasi Pengiriman bENIH sAWIT UNGGUL ke Anda. Proses persiapan dan pada saat pengiriman membutuhkan waktu 3 hari setelah pembayaran.

Untuk waktu malam hari, Anda tetap bisa sms order Anda dan pada pagi hari kami akan membalas sms Anda.

Advertisements

Artikel Terkait Lainnya

Salah satu penyakit yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman kelapa sawit serta berpotensi mengurangi produksi hingga 25% pada tanaman berusia 3–9 tahun adalah busuk tandan kelapa sawit, atau buah sawit busuk sebelum masak (Siregar, 2011) Penyebab buah sawit busuk sebelum masak dapat bervariasi dan melibatkan beberapa faktor. Berikut beberapa alasan umumnya: 1. Penyakit: Beberapa […]

Insektisida pembasmi telur ulat, atau ovicide, adalah produk kimia yang dirancang khusus untuk membunuh telur ulat sebelum menetas. Berikut adalah beberapa jenis insektisida yang sering digunakan untuk mengendalikan telur ulat: Metoksifenozide: Insektisida ini bertindak sebagai penghambat pertumbuhan ulat dan memiliki efek ovicidal yang baik. Diflubenzuron: Merupakan insektisida yang efektif sebagai ovicide, menghambat pertumbuhan dan perkembangan […]

Karet, sebagai tanaman perkebunan terkemuka kedua di Indonesia setelah kelapa sawit, diyakini memiliki jumlah petani yang sebanding dengan petani kelapa sawit. Dalam beberapa tahun terakhir, harga jual karet mengalami penurunan, mendorong petani untuk mencari strategi kreatif agar dapat memperoleh penghasilan setidaknya sebanding dengan periode sebelum penurunan harga. Cara yang digunakan adalah dengan mendorong tanaman karet […]

Padda September 2021, perdagangan pupuk hayati di tingkat global adalah bagian dari industri pertanian yang berkembang pesat. Pupuk hayati, seperti bakteri pengikat nitrogen, bakteri pelarut fosfor, dan mikroorganisme lainnya, digunakan untuk meningkatkan produktivitas tanaman secara alami dan berkelanjutan. Beberapa mikroorganisme yang umumnya termasuk dalam pupuk hayati melibatkan bakteri pengikat nitrogen, bakteri pelarut fosfor, dan mikroba […]

Dikalangan umat Hindu ada yang namanya Rudraksha biji yang dianggap berasal dari tetesan air mata Dewa Siwa. Apa itu biji Rudraksha? Rudraksha adalah biji tanaman yang di Indonesia biasa disebut dengan Jenitri. Jenitri Tanaman biji Jenitri ini banyak ditemui di hampir semua pulau di Indonesia, seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara hingga Papua. Kabarnya, […]