Advertisements

Pemerintah telah memperpanjang morotarium atau pengentian sementara pembukaan hutan primer, hutan sekunder dan lahan gambut dengan terbitnya Inpres No 6/2013 sebagai pengganti Inpres No 10/2011 yang kedaluwarsa dan habis masa berlakunya pada bulan Juni 2013 setelah 2 tahun. Terlepas dari pro dan kontra tentang perlunya moratorium di atas yang masih diperdepatkan baik di kalangan akademis maupun para pengusaha perkebunan, terkesan bahwa tata kelola lahan gambut, khususnya terkait dengan pengembangan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut dinilai belum terlaksana dengan baik. Perlu diketahui, luas perkebunan kelapa sawit ditaksir  sekitar 20% berada di lahan gambut.  

Penolakan terhadap pemanfaatan  lahan gambut untuk pengembangan pertanian sering muncul baik dari dalam negeri maupun dunia internasional. Tekanan pemanfaatan lahan gambut sering dihubungkan dengan kasus-kasus kegagalan seperti Eks PLG Sejuta Hektar Kalimantan Tengah.  Kawasan PLG Sejuta Hektar menjadi “sandungan”  karena pembukaannya memunculkan kebakaran besar yang kemudian diisukan menimbulkan  emisi GRK setara dengan negara Inggris. Kebakaran lahan gambut tahun 1997/1998  yang tercatat seluas 2,12 juta ha ditaksir menimbulkan emist GRK setara  0,6-4,2 juta ton  C atau 2-16 juta ton CO2 (Tacconi, 2003) sehinga Indonesia masuk sebagai emitor GRK ke tiga di dunia.          

Dorongan kuat untuk pentingnya tata kelola lahan gambut yang bijak dan ramah lingkungan terkait dengan komitmen Indonesia yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudiyono  di Pittsburg, Amerika Serikat  dan di Copenhagen pada Konferensi G-20 dan COP-15 pada diakhir tahun 2009 yang menyatakan akan menurunkan emisi GRK sebesar 26% secara unilateral dan 41% jika ada dukungan bantuan negara maju, diantaranya 9,5-13,0%  dari lahan gambut.  

Tulisan ini dimaksudkan sebagai “sharing” pengalaman dan pengetahuan dalam memahami dan  mengatasi kebakaran di lahan gambut, terutama pada perkebunan kelapa sawit.  Kebakaran lahan gambut merupakan salah satu isu kunci dalam tata kelola lahan gambut yang ramah lingkungan.

SEKITAR KECAMAN DAN TUDINGAN  

Lahan gambut dinilai sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK), seperti karbondioksida (CO2), metan (CH4), dan dinitrooksida (N2O) yang berdampak pada perubahan iklim dan pemanasan global. Emisi GRK secara nasional cenderung meningkat setiap tahun yang sebenarnya juga akibat meningkatnya pemakaian bahan bakar fosil dari minyak bumi, gas alam dan batu bara baik untuk kepentingan energi dan listrik, seperti transportasi, industri, pabrik-pabrik maupun kepentingan rumah tangga. Menurut laporan, kegiatan non pertanian (penggunaan energi dan listrik) di atas telah menyumbang 65% dari total emisi  GRK jauh lebih besar daripada kegiatan pertanian (budidaya pertanian/perkebunan, alih fungsi lahan/hutan, dan limbah pertanian/rumah tangga) yang menyumbang sekitar 35% dari total emisi GRK.  

Keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kesepakatan internasional seperti Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD), Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) dan Konvensi Ramsar tentang Konservasi Lahan Basah, yang telah dituangkan dalam undang-undang sebagai bentuk ratifikasi merupakan partisipasi pemerintah dalam pergaulan dunia yang memang telah diamanatkan oleh Undang-unang Dasar 1945,  namun pada tempatnya pemerintah  juga perlu tetap memperhatikan kedaulatan negara dan kepentingan nasional dalam apresiasi kesepakatan-kesepakatan  tersebut, khususnya dalam hal pengaturan sumber daya alam kita, termasuk lahan gambut. 

Tudingan-tudingan masyarakat dunia, khususnya oleh Negara-negara Eropah dan Amerika Serikat, tentang pemanfaatan lahan gambut yang selama ini dianggap merusak lingkungan, merusak hutan, dan menguras sumber daya air, menurunkan keanekaragaman hayati, meningkatkan kemiskinan masyarakat setempat, dan meningkatkan emisi gas rumah kaca atau menimbulkan perubahan iklim,  pada dasarnya tidak semuanya benar bahkan terkesan merupakan ”kampanye negatif” untuk menyerang pesatnya perkembangan bisnis Indonesia, khususnya kelapa sawit (Barani. 2009; Harahap dkk, 2008). Keadaan ini perlu disikapi secara bijak dan adil karena dibelakang keputusan yang  diambil  terdapat jutaan rakyat. 

Pengalaman dan  belajar dari kebijakan masa lalu bagaimana tentang cengkeh, jeruk, tebu/gula dan banyak yang lainnya (seperti kayu, batu bara, emas) yang telah meminta ”korban” banyak petani dan masyarakat kita perlu mendapatkan perhatian. Tambahan, terkait  gambut dan perubahan iklim bahwa menurut Sirin dan Laine (2008) dalam Marsyudi (2012) gambut dapat memegang peran ganda baik sebagai sumber maupun penyimpan GRK. Namun perhatian masyarakat luar (asing) lebih tertuju pada pelepasan karbon ketimbang penyipanannya dalam bentuk tanaman. Lebih-lebih bahwa angka-angka seperti emisi GRK yang diekspose ”menyerang” lebih banyak estimasi-estimasi yang sangat mungkin terdistorsi untuk tujuan politik dan bisnis. 

PEMANFAATAN DAN KERUSAKAN LAHAN GAMBUT

Pemanfaatan lahan gambut semakin pesat untuk pertanian dan perkebunan seiring dengan prospek yang menjanjikan. Perlu dicatat rusaknya lahan gambut bukan semata-mata karena  pembukaan dan pemanfaatan untuk pertanian/perkebunan, juga adalah akibat pembalakan liar maupun resmi, termasuk penjarahan oleh HPH, kebakaran baik sengaja maupun tidak sengaja, dan pengatusan (drainase) akibat kesalahan perencanaan dan pelaksanaan di lapangan masa lalu. Hanya perlu dicatat bahwa kerusakan lahan/hutan gambut kita – hanyalah dampak dari “kebodohan” kita yang kemudian dimanfaatkan oleh Negara-negara maju karena dibalik itu bukankah mereka telah diuntungkan sebelumnya karena lebih dulu menikmati sebagai penerima barang-barang (kayu, emas, batu bara) “illegal” yang diatur oleh oknum sehingga menghidupkan industri dan bisnis mereka ?   Lahan gambut yang dibuka tidak lebih dari 0,5 juta hektar untuk pertanian tanaman pangan dan sekitar 1,5-2,0 juta hektar untuk perkebunan dengan ketebalan gambut yang bervariasi dari 0,5-4,0 meter, hanya sebagian kecil yang masuk ke lahan gambut tebal > 3m. Kerusakan lahan gambut lebih banyak karena “kejahilan” sebagian dari masyarakat yang terperangkap pada kemiskinan yang kemudian dimanfaatkan oleh cukong-cukong untuk mengambil kayu-kayu dari hutan gambut yang sudah rusak untuk diekspor secara illegal ke negara-negara maju. 

Indonesia sekarang dihadapkan lebih berat lagi dengan penduduk lebih seperempat milyar (237,5 juta jiwa) dengan laju pertambahan 350.000 per tahun, maka lahan gambut masa mendatang masih menjadi pilihan untuk pengembangan pertanian/perkebunan, termasuk untuk penghasil energi hayati (biofuel) masa depan karena ketersedian lahan yang terbatas untuk dimanfaatkan. Lahan gambut kita maha luas antara sekitar 17 juta hektar, diantaranya 10-13 juta hektar dapat dimanfaatkan untuk pertanian. Pemerintah daerah yang mempunyai lahan gambut juga mendapatkan dorongan kuat dari masyarakatnya yang lahannya sudah puluhan tahun tanpa menghasilkan sesuatupun, kecuali sebagai lahan bongkor yang terbakar setiap tahun. Bagi pemerintah daerah, investasi yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan seperti kelapa sawit  merupakan peluang sebagai sumber pendapatan daerah sehingga “menawan” untuk dijadikan wilayah sumber pertumbuhan ekonomi baru.  

Pemerintah di bawah Direktorat Jenderal Perkebunan telah merencanakan pembukaan lahan perkebunan seluas 450 ribu ha per tahun.   Dengan semakin sempitnya lahan yang tersedia akibat konversi lahan pertanian menjadi non pertanian, maka pemanfaatan lahan-lahan sub optimal seperti lahan rawa dan lahan gambut menjadi pilihan ke depan.  Dalam konteks pemanfaatan lahan dan kebakaran lahan, boleh jadi dengan adanya tanaman pada lahan-lahan gambut yang sudah dibuka atau bongkor, maka kebakaran lahan yang sering terjadi baik disengaja ataupun tidak disengaja akan berkurang. Petani yang lahannya ditanami dengan baik apakah itu karet atau kepala sawit tentunya tidak membiarkan begitu saja lahannya untuk terbakar.  

ANTISIPASI ATAU PENCEGAHAN KEBAKARAN LAHAN GAMBUT

Pencegahan kebakaran di lahan gambut atau hutan gambut merupakan salah satu bagian tindakan dalam Pengelolaan Kebakaran Lahan atau Hutan. Tindakan lain dalam Pengelolan Kebkaran Lahan Gambut adalah Kesiapsiagaan, Penanggulangan Kebakaran dan Rehabilitasi pasca Kebakaran.  Namun dalam hal ini pencegahan lebih penting sebagai tindakan pertama dan jauh lebih baik daripada melakukan pemadaman apalagi rehabilitasi yang jauh lebih sulit dan mahal.  Tindakan pencegahan  dalam Pengelolaan Kebakaran lahan atau Hutan  ini mempunyai tujuan antara lain:  (1) mencegah kebakaran hutan dan lahan, (2) meminimalkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan, (3) memperkecil dampak kebakaran hutan dan lahan, dan (4) memelihara dan menjaga sumberdaya hutan dari bahaya kebakaran hutan dan lahan. 

Dalam pencegahan atau pengendalian kebakaran hutan dan lahan paling tidak diperlukan 3 (tiga) aspek utama yaitu : (1) operasional teknis,  (2) kelembagaan, dan (3) partisipasi atau pemberdayaan masyarakat. Operasional teknis mencakup perencanaan pencegahan kebakaran, pemadaman dan penanganan pasca kebakaran hutan dengan prioritas utama pada pencegahan. Kelembagaan mencakup masalah pembagian tugas dan tanggung jawab institusi serta sistem pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Partisipasi dan pemberdayaan masyarakat mencakup masalah peningkatan keterlibatan masyarakat terutama masyarakat setempat dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

A.  OPERASIONAL TEKNIS

Operasional teknis dalam hal ini adalah perencanaan pengendalian kebakaran hutan dan lahan dengan fokus pada pencegahan terjadinya kebakaran. Pencegahan maksudnya adalah kegiatan yang bersifat mencegah terjadinya kebakaran atau yang harus dilakukan saat belum terjadi kebakaran.  Berikut ini dikemukakan beberapa usaha pencegahan kebakaran lahan atau hutan yang antara lain :

1. Pembuatan Peta Rawan Kebakaran.  Hal ini penting dilakukan sehingga luas areal kebakaran dapat dicegah selaus mungkin dengan cara mendelinasi areal yang rawan kebakaran baik dari segi bahan bakar maupun sosial kemasyarakatan.

2. Pembuatan Sekat Bakar.  Secara teknis hal ini sangat mudah hanya saja efektif tidaknya sangat tergantung pada peletakan lokasi. Oleh karena itu,  dari peta rawan kebakaran dapat disusun perencanaan pembuatan sekat bakar, baik sekat bakar jalur hijau maupun sekat bakar jalur kuning dengan jumlah yang memamdai dan tempat-tempat yang strategis.

3. Sistem Deteksi Kebakaran. Kegiatan ini untuk mengetahui lebih dini kemungkinan terjadinya kebakaran hutan, sehingga dapat diambil langkah-langkah penanggulangan yang tepat. Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain : 

Mendirikan menara pengawas kebakaran dengan jangkauan pandang cukup jauh, dilengkapi dengan sarana deteksi (teropong, range finder) dan sarana komunikasi. Untuk dapat memantau areal pengawasan dengan baik, tinggi menara pengawas 25-35 meter dan ditempatkan pada lokasi strategis; 
Patroli secara periodik dengan frekuensi lebih meningkat pada saat musim kemarau; 
Membangun dan mendayagunakan pos-pos jaga pada jalan masuk, jalan pengawasan areal tanaman dan di sekitar kawasan yang berbatasan dengan desa atau lahan usaha pertanian. Ini dimaksudkan untuk menghindari dari kebakaran hutan akibat kecerobohan manusia atau kesengajaan; 
Memanfaatkan informasi hotspot (titik panas) dan cuaca untuk penilaian tingkat kerawanan kebakaran, 
Desain hutan tanaman/perkebunan yang memiliki risiko kecil terhadap kebakaran. Dengan telah diperolehnya teknologi model pembangunan hutan tanaman/kebun berisiko kecil kebakaran, maka pembangunan hutan tanaman dengan model tersebut akan mempermudah kegiatan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan;  
Pengelolaan bahan bakar. Pengelolaan bahan bakar adalah kegiatan untuk memanipulasi bahan bakar, sehingga jumlah bahan bakar tidak berada pada kondisi yang rawan terbakar; 
Penyediaan tenaga dan peralatan pemadam. Tenaga yang terampil dan ketersediaan peralatan sangat menunjang perlindungan tanaman dari bahaya kebakaran. Tanpa adanya tenaga terlatih beserta peralatan, api akan sulit dikendalikan; 
Penyediaan sumber air. Sumber air merupakan faktor kunci dimusim kebakaran. Untuk itu waduk serbaguna, bak air beton, sarana transportasi dan komunikasi perlu disediakan; 
Memasang rambu-rambu peringatan bahaya kebakaran. Pemasangan rambu-rambu bahaya kebakaran dilakukan di tempat-tempat umum dan mudah dilihat masyarakat umum; dan 
Menyusun data statistik. Ini bertujuan untuk mengetahui segala asset atau tanaman yang perlu dilindungi serta sarana prasarana yang ada. (Bersambung)

Oleh: Dr. Ir. Muhammad Noor, MS* dan Dr. Ir. Acep Akbar, MS** (Bagian pertama) 

Advertisements

Artikel Terkait Lainnya

JAKARTA – Manajer Program Hukum dan Masyarakat Epistema Institute, Yance Arizona mengutarakan, eksistensi masyarakat adat sangat perlu diakui negara. Bahkan, tak cukup hanya pengakuan. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 dilapanagn faktanya masih banyak terjadi pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat. Yance menyatakan, kalau sebelumnya hutan adat adalah hutan negara, setelah putusan MK 35/2012, hutan adat adalah […]

Advertisements Medan – Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan proses eksekusi lahan sawit milik pengusaha DL Sitorus seluas 47 ribu ha di Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara, sudah selesai. Kejaksaan Agung sudah menyerahkan lahan tersebut kepada Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. “Perkara DL Sitorus menyangkut barang bukti seluas 47 ribu ha sudah diserahkan secara […]

KOTA KINABALU – Menteri Sains, Teknologi dan Inovasi, Datuk Ewon Ebin mengatakan, salah satu dari tiga proyek yang memanfaatkan minyak sawit atau biorefinery di Sabah dan Sarawak, telah disetujui oleh komite Bioeconomy Transformation Programme (BTP). Genting Plantations Berhad bakal berkolaborasi dengan Elevance Renewable Sciences, sebuah perusahaan kimia asal Amerika Serikat, untuk membangun biorefinery. Seperti tulis […]

Advertisements Amerika Serikat – Merujuk laporan Lembaga Swadaya Masyarakat Lingkungan dunia, Forest Heroes, menuding perusahaan sawit PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) bertaggung jawab terhadap kerusakan hutan tropis. Sebelumnya PT Astra Agro Lestari Tbk telah berjanji tidak bakal membangun perkebunan kelapa sawit di hutan tropis, tetapi Forest Heroes menganggap janji PT Astra Agro […]

HERSHEY – Perusahaan Hershey, April 2015 melaporkan hasil penggunaan bahan baku dari sumber minyak sawit berkelanjutan, yang didukung lewat kerjasama strategis dengan The Forest Trust (TFT). Tercatat Harshey, telah menggunakan minyak sawit berkelanjutan sebanyak 94% dari semua pabrik yang menggunakan minyak sawit secara global. Kabarya Harshey, sedang melakukan pemetaan rantai pasok hingga ke perkebunan, yang […]