Advertisements

Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 60 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan yang dikeluarkan sejak tanggal 6 Juli 2012. Banyak kalangan telah mendapatkan penjelasan atau sosialisasi dari Kementerian Kehutanan tentang aturan tersebut. Dari uraian sebagian aktivis lingkungan menyatakan bahwa PP No. 60/2012 tersebut telah terjadi pemutihan yang diakomodir oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kehutanan.

Pandangan yang menyatakan peraturan pemerintah tersebut sebagai pemutihan tentunya tidak semuanya benar, bahkan cenderung mematikan usaha perkebunan di Indonesia yang telah melakukan kegiatan usaha perkebunan, baik perusahan perkebunan yang sudah berjalan lama maupun perusahaan perkebunan yang saat ini sedang melakukan investasi penanaman. Mengapa peraturan pemerintah ini cenderung mematikan usaha perkebunan? Dapat dilihat dari substansi peraturan tersebut yang mengatur “berlaku surut”. 

Artinya peraturan pemerintah ini adalah sudah dilahirkan untuk mengambil paksa kembali lahan perkebunan dengan dasar atas klaim kawasan hutan oleh Kementerian Kehutanan. Bagaimana mungkin sebuah peraturan perundang-undangan dalam bentuk peraturan pemerintah bertentangan dengan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan itu sendiri. Hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal 15 ayat (2) UU kehutanan. Pasal tersebut menyatakan bahwa semua kegiatan kehutanan (pengukuhan kawasan hutan) harus dilakukan dengan memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah. Tentunya yang dimaksud Rencana Tata Ruang Wilayah disini adalah bukan diatur melalui peraturan kehutanan tetapi Undang-Undang Penataan Ruang. Di provinsi dikenal dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan di Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota dikenal dengan (RTRWK/K). 

Pertanyaannya sejak kapan dan peraturan mana yang menyatakan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi atau Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten/Kota harus mengikuti ketentuan di dalam Undang-undang Kehutanan, tentu tidak. Hal ini dapat dilihat dari sumber hukum RTRW Provinsi dan RTRW kabupaten/Kota adalah Undang-undang tentang Penataan Ruang. Bahwa sebelum adanya UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pemerintah provinsi sudah mengeluarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I dan Pemerintah Kabupaten/Kota telah mengeluarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah  Tingkat II yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah. 

Hal tersebut telah sesuai dengan UU No. 24 Tahun 1992 Pasal 21 ayat (1) Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Tingkat I merupakan penjabaran strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah nasional ke dalam strategi dan struktur pemanfaatan ruang wilayah Provinsi Daerah Tingkat I ayat (2) pedoman pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Provinsi Daerah Tingkat I, berisi: 

Arahan pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budi daya; 
Arahan pengelolaan kawasan pedesaan, kawasan perkotaan dan kawasan tertentu; 
Arahan pengembangan kawasan pemukiman, kehutanan, pertanian, pertambangan, perindustrian, pariwisata, dan kawasan lainnya. Dari ketentuan tersebut jelas kehutanan merupakan satu bagian dari penataan ruang yang sudah masuk dalam RTRW Provinsi. Sehingga peraturan pemerintah ini tidak benar secara substansi peraturan dan isinya karena mengatur hukum lain.

Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2012 ini selain menyimpang dari Undang-undang No. 24 tahun 1992 Penataan Ruang jo Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang juga mengatur peristiwa lampau atau mengatur ketentuan ketentuan perundang-undangan yang berlaku surut. Dengan demikian apa yang diatur di dalam Pasal 51A Peraturan Pemerintah ini, jelas niatnya tidak baik karena mengambil alih kewenangan pemerintah daerah yang telah mengeluarkan izin usaha perkebunan atas dasar hukum Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi atau Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten/Kota, yang sumber hukumnya adalah ketentuan sebelumnya, yaitu Undang-Undang Tata Ruang dan Pemerintahan Daerah. 

Terlebih dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 45/PUU-IX/2011 tanggal 21 Pebruari 2012 yang telah merubah definisi kawasan hutan dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tidak cukup hanya ditunjuk tetapi harus ditetapkan sesuai mekanisme Pasal 14 dan Pasal 15.  Dengan demikian pemerintah daerah mempunyai kedudukan yang sangat kuat dan terlebih jika yang digunakan di dalam pemberian izin usaha perkebunan tersebut sesuai dengan peraturan daerah provinsi karena hal tersebut dijamin oleh konstitusi UUD 1945, khusunya Pasal 18, ayat (6) Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. 

Ketentuan tentang kegiatan usaha perkebunan yang yang izinnya diterbitkan oleh pemerintah daerah wajib mengajukan pelepasan kawasan hutan tentunya perlu ditelaah kembali; apakah Kementerian Kehutanan telah melakukan penetapan kawasan hutan yang diklaim. Karena sesuai Pasal 14 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; yang mempunyai kekuatan hukum kawasan hutan adalah yang telah dilakukan pengukuhan kawasan hutan. 

Jika ketentuan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2012 dipergunakan sebagai acuan, maka pandangan yang menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah ini memutihkan usaha perkebunan adalah keliru. Karena sesungguhnya pemerintah daerah sudah benar dalam menjalankan hak dan kewenangannya. Sedangkan peraturan pemerintah ini adalah bagian dari Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 2010 yang di dalam pelaksanaannya tidak dirubah karena ketentuan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2012. 

Jika perusahaan perkebunan yang izinnya dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan RTRWP mengajukan permohonan pelepasan sesuai Pasal 51A dan mengajukan tukar menukar sesuai Pasal 51B, berarti pemegang izin tersebut mengakui bahwa kebunnya masuk dalam kawasan hutan.  Pemohon juga akan terkendala ketentuan Pasal 19; Pelepasan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b hanya dapat dilakukan pada hutan produksi yang dapat dikonversi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c.

Pemohon atau pemilik usaha perkebunan juga akan terjegal dengan ketentuan Pasal 23 ayat  (1) Dalam jangka waktu berlakunya persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), Pemohon dilarang melakukan kegiatan di kawasan hutan, kecuali memperoleh dispensasi dari menteri. Ayat (2) dispensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan kepada pemohon dalam rangka pelaksanaan kegiatan persiapan berupa pembibitan, persemaian, dan/atau prasarana dengan luasan yang sangat terbatas; dan ayat (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian dispensasi diatur dengan peraturan menteri.

Kendala lain seperti usaha perkebunan yang telah memiliki HGU akan kembali menjadi kawasan hutan, sesuai Pasal 25: Berdasarkan keputusan menteri tentang pelepasan kawasan hutan dan dipenuhinya persyaratan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan, instansi yang berwenang di bidang pertanahan menerbitkan sertifikat hak atas tanah.

Kewajiban pemohon juga terikat ketentuan Pasal 50 ayat (1) persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan dapat dibatalkan oleh menteri apabila: a. Tidak memenuhi kewajiban dalam tenggang waktu yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2); b. Melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) atau c. Pemegang persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan membuka kawasan hutan sebelum mendapat dispensasi dari menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1). Ayat (2) Pembatalan persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai setelah diberikan peringatan tertulis oleh menteri sebanyak 3 (tiga) kali masing-masing dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja untuk setiap kali peringatan.

Dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2012, pemutihan sebenarnya tidak ada dan yang terjadi adalah menarik kembali areal perkebunan yang telah diberikan izinnya oleh pemerintah daerah menjadi areal hutan. Jika mengacu kepada ketentuan perundang-undangan di bidang kehutanan, maka pengambilalihan areal perkebunan menjadi areal hutan akan terjadi jika semua perusahaan perkebunan mengajukan permohonan pelepasan kawasan hutan atau tukar menukar. 

Sebagai kata kuncinya Kementerian Kehutanan apakah mungkin akan melanggar ketentuannya sendiri karena sesuai Permenhut No. 33/Menhut-II/2010 jo Permenhut No.17/Menhut-II/2011 jo P.44/Menhut-II/2011 sudah digariskan bahwa dispensasi pembukaan lahan hanya dapat diberikan kepada pemohon berdasarkan persetujuan prinsip pelepasan kawasan HPK. Dispensasi hanya dapat diberikan dalam rangka kegiatan persiapan seperti, pembibitan, persemaian, dan/atau prasarana dengan luasan yang sangat terbatas. Luas dispensasi yang dapat diberikan adalah 10% dari persetujuan prinsip dan dikunci lagi dengan paling banyak seluas 200 hektar. Prioritas areal dispensasi adalah areal yang tidak berhutan, setelah mendapat pertimbangan teknis dari kepala dinas kabupaten/Kota. 

Dispensasi menjadi kata kunci, apakah Kementerian Kehutanan akan melakukan perubahan ketentuan dispensasi? Jika ya, maka pemutihan terjadi dan ada ancaman hukumnya dikarenakan menguntungkan orang lain atau korporasi. Jika tidak, maka sangat berat bagi pemohon karena mengikuti ketentuan PP 60, ternyata investasinya tidak dilindungi oleh pemerintah. 

Tentunya karena PP 60 mengatur peristiwa yang berlaku surut, maka potensi gugatan kerugian investasi dapat dilakukan oleh perusahaan perkebunan kepada pemerintah daerah dan pusat. Sayang posisi Kementerian Kehutanan sangat lemah, karena bagian terbesar klaim kawasan hutan yang telah diberikan untuk kegiatan usaha perkebunan belum ditetapkan menjadi kawasan hutan.  Akhirnya usaha perkebunan di Indonesia tidak ada kepastian hukumnya dan cenderung diambil-alih paksa dengan PP 60.

Oleh: Dr. Sadino, SH.MH, Direktur Eksekutif Natural Resources Law & Business Institute

Advertisements

Artikel Terkait Lainnya

JAKARTA – Manajer Program Hukum dan Masyarakat Epistema Institute, Yance Arizona mengutarakan, eksistensi masyarakat adat sangat perlu diakui negara. Bahkan, tak cukup hanya pengakuan. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 dilapanagn faktanya masih banyak terjadi pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat. Yance menyatakan, kalau sebelumnya hutan adat adalah hutan negara, setelah putusan MK 35/2012, hutan adat adalah […]

Advertisements Medan – Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan proses eksekusi lahan sawit milik pengusaha DL Sitorus seluas 47 ribu ha di Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara, sudah selesai. Kejaksaan Agung sudah menyerahkan lahan tersebut kepada Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. “Perkara DL Sitorus menyangkut barang bukti seluas 47 ribu ha sudah diserahkan secara […]

KOTA KINABALU – Menteri Sains, Teknologi dan Inovasi, Datuk Ewon Ebin mengatakan, salah satu dari tiga proyek yang memanfaatkan minyak sawit atau biorefinery di Sabah dan Sarawak, telah disetujui oleh komite Bioeconomy Transformation Programme (BTP). Genting Plantations Berhad bakal berkolaborasi dengan Elevance Renewable Sciences, sebuah perusahaan kimia asal Amerika Serikat, untuk membangun biorefinery. Seperti tulis […]

Advertisements Amerika Serikat – Merujuk laporan Lembaga Swadaya Masyarakat Lingkungan dunia, Forest Heroes, menuding perusahaan sawit PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) bertaggung jawab terhadap kerusakan hutan tropis. Sebelumnya PT Astra Agro Lestari Tbk telah berjanji tidak bakal membangun perkebunan kelapa sawit di hutan tropis, tetapi Forest Heroes menganggap janji PT Astra Agro […]

HERSHEY – Perusahaan Hershey, April 2015 melaporkan hasil penggunaan bahan baku dari sumber minyak sawit berkelanjutan, yang didukung lewat kerjasama strategis dengan The Forest Trust (TFT). Tercatat Harshey, telah menggunakan minyak sawit berkelanjutan sebanyak 94% dari semua pabrik yang menggunakan minyak sawit secara global. Kabarya Harshey, sedang melakukan pemetaan rantai pasok hingga ke perkebunan, yang […]