Advertisements

Dekomposisi bahan organik termasuk tandan kosong kelapa sawit (tankos) sampai akhirnya berbentuk tanah dan terjadi pelepasan nutrisi melibatkan berbagai organisme dengan berbagai tingkatan suksesi. Proses dekomposisi bisa terganggu jika rangkaian suksesi terganggu. Pada dasarnya dekomposisi dapat terjadi pada semua bahan organik. 

Cepat atau lambatnya dekomposisi bahan organik juga tergantung dari kualitas bahan organik itu sendiri. Dekomposisi kayu ulin mungkin memakan waktu puluhan bahkan ratusan tahun, tetapi dekomposisi kayu sengon mungkin hanya memerlukan beberapa bulan saja. Demikian juga halnya dengan berbagai bagian dari tanaman kelapa sawit. 

Dekomposisi cangkang kelapa sawit secara alami terjadi lebih lambat dibandingkan dengan dekomposisi tankos. Namun dekomposisi tankos lebih lambat jika dibandingkan dengan dekomposisi empulur batang sawit. Di samping itu cepat atau lambatnya dekomposisi bahan organik juga sangat tergantung kepada kondisi lingkungan yang mendukung.  Dekomposisi oleh jamur dapat berjalan dengan baik jika kelembaban bahan organik dapat dijaga antara 60% dan 70%, sedangkan dekomposisi oleh bakteri biasanya berhasil dengan baik jika kelembaban bahan organik dapat dipertahankan mendekati 100%.

Keterlibatan berbagai organisme hidup

Secara tradisional, pengomposan dilakukan dengan cara membuat lubang di dalam tanah kemudian memasukkan bahan organik ke dalam tanah. Tanpa disadari bahwa proses pengomposan yang dilakukan secara turun-temurun oleh nenek moyang kita sarat dengan kandungan ilmu biologi lingkungan yang sangat tinggi dan menggarisbawahi terjadinya suksesi di alam. Berbagai organisme hidup terlibat, mulai dari manusia, binatang, serangga tingkat tinggi, serangga primitif, jamur, dan bakteri.  Manusia mengawali keterlibatannya dalam mencincang-cincang bahan organik, dan kemudian ketika diletakkan di tanah dilanjutkan pemotongan bahan organik ke ukuran yang lebih kecil lagi oleh berbagai serangga tingkat tinggi (termasuk Oryctes sp., serangga hama yang merugikan), dilanjutkan menjadi ukuran yang lebih kecil lagi oleh serangga primitif berukulan kecil seperti Colembola spp., selanjutnya oleh jamur, dan akhirnya oleh protozoa dan bakteri.

Pengomposan dengan input teknologi

Tandan kosong kelapa sawit (tankos) merupakan salah satu by product yang produksi per satuan waktunya sangat tinggi mencapai 23% dari bobot tandan buah segar yang masuk ke pabrik kelapa sawit.  Karena jumlahnya sangat banyak, jika tidak dilakukan penanganan dengan baik, lama kelamaan akan menumpuk di sekitar pabrik sehingga menimbulkan gangguan lingkungan yang sangat signifikan, termasuk menjadi sumber perkembangbiakan hama Oryctes sp. Padahal tankos dapat diaplikasikan langsung ke lapangan sebagai mulsa atau dikomposkan untuk dijadikan pupuk oragnaik dalam program daur ulang nutrisi secara cepat.

Oleh karena jumlahnya sangat banyak, dekomposisi atau pengomposan tankos memerlukan input teknologi dengan bertumpu pada kenyataan bahwa tankos memiliki kandungan lignin yang tinggi bahkan bisa lebih dari 50%.  Di samping itu, tankos juga dalam beberapa khasus masih mengandung minyak dengan kadar yang cukup signifikan. Kandungan minyak yang tinggi dapat mempengaruhi efisiensi degradasi.  Input teknologi yang diperlukan di antaranya adalah pencacahan, penambahan endapan limbah cair PKS, dan penggunaan bio aktivator, serta pembangunan kondisi yang optimum bagi bekerjanya bahan aktif mikroba yang digunakan. 

Pilihan antara bakteri dan jamur

Alam telah meberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua. Jika kita berjalan-jalan di lingkungan kita dan menemukan ada pangkal batang tanaman berkayu yang membusuk, dalam banyak kasus dapat dipastikan penyebabnya adalah mikroba dari golongan jamur. Para pelaku usaha perkebunan kelapa sawit tahu persis bahwa penyebab busuk pangkal batang sawit adalah Ganoderma Boninense  bukan oleh bakteri.  Hal tersebut memberikan pelajaran kepada kita semua bahwa pendegradasi bahan berkayu dengan kandungan lignin yang tinggi adalah dari golongan jamur, bukan bakteri. Dengan demikian, maka untuk sementara ini pengomposan tankos pilihan yang lebih tepat dan masuk akal adalah dengan jamur. 

Ada sebagian yang mengkhawatirkan bahwa bahwa jika dilakukan dengan jamur bisa berakibat fatal pada tanaman kelapa sawit. Tentu saja dalam hal ini ya jangan menggunakan jamur patogen. Dari hasil penelitian di laboratorium, pada hakekatnya Ganoderma boninense memiliki kemampuan yang sangat bagus untuk mendegradasi tankos. Bagaimanapun juga penggunaan jamur patogen seperti Ganoderma spp. untuk pengomposan dilarang keras. Berbagai jenis jamur yang bukan patogen memiliki kemampuan mendegradasi bahan lignoselulosa dan aman digunakan, salah satunya adalah Trichoderma spp.  

Gangguan pada proses pengomposan

Jika golongan jamur digunakan dalam pengomposan tankos, maka selama proses perkembangan miselium yang memakan waktu 7 sampai 2 minggu, biakan jamur dengan tankos sebagai substratnya tidak boleh diganggu. Jika diganggu produksi berbagai jenis enzim yang terlibat dalam degradasi lignoselulosa tidak dapat berlangsung secara optimum. Bayangkan apa yang terjadi jika dalam proses pembuatan tempe, setiap hari pembungkusnya dibuka. Dapat dipastikan tempenya tidak jadi.  Penyiraman bahan setiap dua hari sekali diselingi dengan penguapan air yang tinggi oleh paparan sinar matahari yang terik, dan tidak terkendalinya suhu tumpukan tankos dapat menjadi hambatan utama terjadinya proses pengomposan tankos oleh jamur.

Pilihan antara nutrisi dan mulsa

Semua jenis bahan organik akan terdegradasi secara alami oleh mikroba dan insekta.  Waktu yang diperlukan untuk terdegradasi secara sempurna tergantung kepada kandungan serat dan lignin, kondisi lingkungan, dan jenis mikroba serta insekta yang ada.  Bahan dengan kandungan serat dan lignin yang tinggi biasanya memerlukan waktu degradasi yang lebih lama. Degradasi akan berjalan lambat jika kondisinya terlalu basah atau terlalu kering dalam waktu yang lama.  Keberadaan mikroba perombak lignin dan selulosa dalam jumlah yang memadahi akan sangat membantu proses degradasi. Percepatan degradasi dapat dilakukan melalui proses pengomposan dengan bantuan bio aktivator. Gambar 1 menunjukkan perbedaan waktu yang diperlukan antara degradasi TKKS secara alami dan degradasi TKKS yan dipercepat melalui proses pengomposan.

 Dari ilustrasi yang ditunjukkan pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa dikomposkan  atau tidak dikomposkan, TKKS akhirnya akan menjadi kompos dan nutrisi yang terkandung akhirnya akan dimanfaatkan juga oleh tanaman.  Pilihan antara dikomposkan atau tidak, sangat tergantung kepada fungsi utama yang diharapkan. Kalau tujuannya akan digunakan sebagai mulsa, maka pengomposan tidak diperlukan. Namun jika akan digunakan sebagai pupuk organik maka pengomposan mutlak diperlukan.

Untuk daerah-daerah dengan musim kemarau panjang, bahan organik sebaiknya diaplikasikan sebagai mulsa dengan tujuan untuk mencegah evaporasi atau menguapnya air dari dalam tanah.  Sedangkan untuk daerah-daerah dengan curah hujan merata sepanjang tahun, pemakaian bahan organik dalam bentuk kompos dianggap lebih tepat, namun juga tidak mutlak harus sudah berbentuk kompos.  Untuk tanaman perkebunan yang sudah menghasilkan, pemakaian pupuk organik dengan nilai C/N ratio yang tinggi tidak bermasalah. Namun untuk keperluan aplikasi di pembibitan dan di lubang tanam, bahan organik yang digunakan harus betul-betul matang, meskipun C/N ratio awalnya sudah rendah.

Untuk mencegah terjadinya infestasi hama dan penyakit, bahan organik baik yang berupa mulsa maupun pupuk organik harus dilindungi dengan mikroba anti hama dan penyakit.  Sebaiknya mikroba yang digunakan juga memiliki keunggulan lain seperti mampu memicu pertumbuhan tanaman, melepaskan unsur hara terikat tanah, dan mampu memfiksasi nitrogen dari udara.  

Oleh: Darmono Taniwiryono, Phd, Peneliti Utama Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia

 

Advertisements

Artikel Terkait Lainnya

JAKARTA – Manajer Program Hukum dan Masyarakat Epistema Institute, Yance Arizona mengutarakan, eksistensi masyarakat adat sangat perlu diakui negara. Bahkan, tak cukup hanya pengakuan. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 dilapanagn faktanya masih banyak terjadi pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat. Yance menyatakan, kalau sebelumnya hutan adat adalah hutan negara, setelah putusan MK 35/2012, hutan adat adalah […]

Advertisements Medan – Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan proses eksekusi lahan sawit milik pengusaha DL Sitorus seluas 47 ribu ha di Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara, sudah selesai. Kejaksaan Agung sudah menyerahkan lahan tersebut kepada Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. “Perkara DL Sitorus menyangkut barang bukti seluas 47 ribu ha sudah diserahkan secara […]

KOTA KINABALU – Menteri Sains, Teknologi dan Inovasi, Datuk Ewon Ebin mengatakan, salah satu dari tiga proyek yang memanfaatkan minyak sawit atau biorefinery di Sabah dan Sarawak, telah disetujui oleh komite Bioeconomy Transformation Programme (BTP). Genting Plantations Berhad bakal berkolaborasi dengan Elevance Renewable Sciences, sebuah perusahaan kimia asal Amerika Serikat, untuk membangun biorefinery. Seperti tulis […]

Advertisements Amerika Serikat – Merujuk laporan Lembaga Swadaya Masyarakat Lingkungan dunia, Forest Heroes, menuding perusahaan sawit PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) bertaggung jawab terhadap kerusakan hutan tropis. Sebelumnya PT Astra Agro Lestari Tbk telah berjanji tidak bakal membangun perkebunan kelapa sawit di hutan tropis, tetapi Forest Heroes menganggap janji PT Astra Agro […]

HERSHEY – Perusahaan Hershey, April 2015 melaporkan hasil penggunaan bahan baku dari sumber minyak sawit berkelanjutan, yang didukung lewat kerjasama strategis dengan The Forest Trust (TFT). Tercatat Harshey, telah menggunakan minyak sawit berkelanjutan sebanyak 94% dari semua pabrik yang menggunakan minyak sawit secara global. Kabarya Harshey, sedang melakukan pemetaan rantai pasok hingga ke perkebunan, yang […]