Advertisements

Indonesia is one of the largest crude palm oil (CPO) producing countries in the world and at the same time have experienced high levels of deforestation. The link between deforestation and expansion of oil palm plantation has been a source of controversy, which has been exacerbated by the lack of objective quantitative information on the nature of land use and land cover change and the expansion of oil palm plantations. This report provides an independent analysis of land use and land cover change for a broad range of land cover classes for five main Islands in Indonesia, namely Sumatra, Java, Kalimantan, Sulawesi, and Papua based on Landsat TM satellite images.

Visual analysis and on screen digitizing methods were employed to create a nation-wide land cover classification that spans two decades (1990 to 2010). Three temporal epochs (1990 to 2000, 2000 to 2005 and 2005 to 2010) correspond to a period of time with significant changes in land cover and land uses in Indonesia.

Expansion of oil palm plantation in Indonesia shows that most of the expansion exists as a follow on transition from disturbed forest (secondary forest), agricultural lands (mainly rubber plantation), and low biomass land cover types, including shrub land and grassland than formerly reported to be majority from undisturbed forest (primary forest).
Key words: land use change, deforestation and expansion, oil palm plantation, undisturbed forest, disturbed forest, primary forest.

1. PENDAHULUAN

Komoditas kelapa sawit Indonesia memegang peranan yang cukup strategis sebagai salah satu industri non-migas. Selain sebagai penghasil sumber devisa negara, keberadaan perkebunan sawit juga menciptakan lapangan pekerjaan baru. Luas perkebunan sawit di Indonesia yang saat ini telah mencapai 8 juta ha dengan tingkat produksi lebih dari 21 juta ton CPO (crude palm oil), menempatkan Indonesia sebagai negara produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia (Fahmuddin et al., 2011). Akan tetapi, tumbuh dan berkembangnya perkebunan kelapa sawit di negara-negara penghasil minyak sawit termasuk di Indonesia, juga dikhawatiran oleh banyak pihak sebagai salah satu sumber utama pemicu terjadinya deforestasi atau konversi hutan.

Konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit yang merubah tutupan lahan tidak hanya akan mengurangi stok karbon, akan tetapi juga mengancam kerusakan keanekaragaman hayati, berkurangnya cadangan air dan kualitas tanah, dan berkurangnya habitat satwa yang dilindung (Germer dan Sauerborn, 2008). Koh dan Wilcove (2008) memperkirakan kontribusi perkebunan sawit terhadap konversi hutan di Indonesia antara periode 1990 s.d 2005 adalah sekitar 56%. Sedangkan studi Wicke et al. (2011) melaporkan konversi penggunaan lahan dari hutan ke perkebunan kelapa sawit di Indonesia meningkat dari 100.000 ha pada tahun 1975 menjadi 5,5 juta ha pada tahun 2005.

Namun demikian, detail penelitian yang mengamati pola perubahan penggunaan hutan dan lahan menjadi perkebunan kelapa sawit secara seri waktu (time series), masih sangat terbatas dan masih terdapat perbedaan besar dalam kualitas data dan metode yang dipergunakan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penelitian untuk menjawab isu-isu yang berkembang berkaitan dengan perubahan tutupan hutan dan lahan menjadi perkebunan sawit berdasarkan data dan informasi secara seri waktu sangat dibutuhkan. Ketersediaan data dan informasi ini sangat penting tidak hanya untuk mengetahui pola perubahan tutupan hutan dan lahan menjadi kelapa sawit di Indonesia, akan tetapi juga dapat menjadi bahan masukan kepada pemerintah Indonesia dalam rangka mengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Dalam studi ini, kajian dilakukan dalam rangka memperoleh data dan informasi terkait dengan perubahan tutupan hutan dan lahan secara time series dari tahun 1990, 2000, 2005, dan 2010 dari. Adapun tujuan studi ini difokuskan untuk mengetahui tutupan dan perubahan hutan dan lahan menjadi perkebunan sawit. Diharapkan dari hasil studi ini akan didapat informasi mengenai perkembangan perkebunan sawit baik dari hutan yang tidak terganggu (primer), hutan yang terganggu (hutan sekunder), lahan kritis atau lahan lainnya termasuk pada lahan gambut. Selain itu diharapkan pula dari hasil studi ini akan dapat memberikan masukan untuk perkiraan CO2 emisi dari penggunaan lahan dan perubahan tutupan hutan dan lahan sebagai bahan rekomendasi untuk skenario pengurangan emisi.

2. BAHAN DAN METODE PENELITIAN
2.1. Lokasi dan Sumber Data

Ruang lingkup kajian penelitian ini meliputi 5 (lima) pulau besar di Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi dan Jawa. Sumatera merupakan pengembangan kelapa sawit terbesar di Indonesia sedangkan Papua merupakan daerah yang kemungkinan akan menjadi daerah pengembangan kelapa sawit di masa datang di Indonesia. Pemilihan lokasi kajian ini juga didasarkan bahwa kelima pulau tersebut telah mewakili lebih dari 95% wilayah pengembangan kelapa sawit di Indonesia.

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah citra Landsat TM 4, 5 dan TM 7 Tahun 1990, 2000, 2005, dan 2010 liputan Sumatra, Kalimantan, Papua, Sulawesi, dan Jawa yang diperoleh atau diunduh dari USGS melalui website glovis.usgs.gov, peta dasar thematik kehutanan dari Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan citra resolusi tinggi dari Google Earth untuk wilayah kajian. Sedangkan data lahan gambut khusus diperoleh dari Wetland International (2003) dan batas administrasi diperoleh dari data administrasi dari Bakosurtanal (2006).

2.2. Analisis Penutupan Lahan dan Analisis Perubahan Penutupan lahan

Pendekatan Multi tingkat (multi stage approach) digunakan dalam kajian ini dengan 2 (dua) data spasial citra satelit yang memiliki resolusi spasial yang berbeda untuk interpretasi penutupan lahan. Tahap pertama, analisa penutupan lahan dilakukan dengan menggunakan citra Landsat, dimana citra Landsat diinterpretasikan untuk menentukan kelas penutup lahan yang ada berdasarkan kunci interpretasi. Sedangkan tahap ke dua, untuk menentukan dan melakukan validasi jenis penutupan lahan yang ada digunakan citra yang memiliki resolusi spasial yang lebih tinggi yang berasal dari Google Earth. Metode validasi digunakan untuk memperoleh konsistensi data dari hasil analisa perbandingan dengan mempergunakan wilayah yang pernah dikaji sebelumnya. Data yang digunakan untuk proses validasi pada kajian ini adalah hasil kajian sebelumnya oleh Tropenbos International Indonesia Programme (TBI) yaitu, untuk wilayah Papua dan Riau.

Klasifikasi penutupan lahan yang digunakan dalam kajian ini berasal dari Kementerian Kehutanan untuk data wilayah Papua, Sumatra, Sulawesi dan Jawa, sedangkan khusus untuk Kalimantan menggunakan klasifikasi penutupan lahan dari Kementerian Pertanian. Berdasarkan dua klasifikasi tersebut kemudian dilakukan pengkelasan ulang menjadi 20 kelas yang disesuaikan dengan tujuan penelitian (Lampiran 1). Analisis yang dilakukan guna memperoleh penutupan lahan adalah analisis secara visual manual. Delineasi dilakukan secara on screen digitations dimana operator/analis GIS langsung melakukan digitasi melalui layar monitor. Sedangkan proses on screen digitations ini dilakukan dengan menggunakan software ARCGIS 9.3.

Perubahan penutupan lahan diperoleh berdasarkan tumpang susun data penutupan lahan beda waktu. Untuk mengetahui luasan dan perubahan dilakukan analisa dengan menggunakan tabel matriks perubahan penutupan lahan.

3. HASIL PENELITIAN

Berdasarkan hasil analisis perubahan tutupan lahan dengan mempergunakan citra satelit dari periode 2000 s.d 2010, diperoleh hasil bahwa hutan lahan kering yang tidak terganggu (primer) di Indonesia mengalami penurunan dari 49 juta ha periode 2000 menurun menjadi 45 juta ha periode 2005 dan kembali menurun hingga menjadi 42 juta ha periode 2010 (Tabel 1). Dilain pihak berdasarkan Tabel 1, secara umum justru terjadi peningkatan luas perkebunan sawit, pertanian lahan kering dan pertambangan dari periode 2000 s.d 2010. Khusus pada perkebunan sawit meningkat cukup pesat dari 3.8 juta ha periode 2000 meningkat menjadi 5.4 juta ha periode 2005 dan mencapai 8 juta ha periode 2010.

Peningkatan pengembangan perkebunan kelapa sawit secara umum di Indonesia setelah periode 2000-2010 tak terlepas dari pertumbuhan ekonomi di Indonesia paska krisis ekonomi. Apalagi setelah itu didukung pula oleh kebijakan nasional tentang perkebunan sawit. Departemen Pertanian mentargetkan untuk mengembangkan hingga 8 juta ha kelapa sawit di tahun 2025, sedangkan Departemen Kehutanan telah menyetujui untuk mengalokasikan hutan konversi termasuk yang dapat digunakan untuk perkebunan kelapa sawit dan pertambangan, sampai 20 juta ha. Pemerintah Indonesia juga telah mengadopsi Kebijakan Energi Nasional tahun 2006 untuk meningkatkan penyerapan biofuel sampai 5% dari konsumsi energi nasional pada tahun 2025, dimana sasaran target pengembangan biofuel di Indonesia akan mengalokasikan 5.25 juta ha untuk perkebunan biofuel hingga tahun 2010, dimana 1.5 juta ha diantaranya adalah perkebunan kelapa sawit.

Selain menganalisa perubahan tutupan lahan seperti tersaji di Tabel 1, analisis tutupan lahan khusus pengembangan kelapa sawit terhadap 5 (lima) pulau besar di Indonesia yaitu pulau Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi dan Jawa juga dilakukan (Tabel 2 dan Lampiran 2). Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 1990 hanya mencapai 1.3 juta ha akan tetapi hingga tahun 2010 sudah mencapai 8 juta ha, dimana dalam periode 20 tahun luas pengembangan kelapa sawit di Indonesia telah berkembang hampir mencapai 6 (enam) kali lipat.

Berdasarkan Tabel 2, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia terbesar berada di pulau Sumatera, kemudian diikuti oleh pulau Kalimantan, Sulawesi, Papua dan pulau Jawa. Pengembangan perkebunan di kedua pulau (Sumatera dan Kalimantan) merupakan lebih dari 80% dari perkebunan kelapa sawit total di Indonesia. Sedangkan rata-rata per tahun pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia periode 1990 s.d 2000 mencapai 234.100 ha per tahun, periode 2000 s.d 2005 mencapai 319.600 ha per tahun, dan periode 2005 s.d 2010 meningkat mencapai lebih dari setengah juta hektar (Tabel 3).

Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata per tahun perkembangan perkebunan kelapa sawit di pulau Kalimantan meningkat tajam pada periode 2005 s.d 2010, akan tetapi tidak terjadi di pulau Sumatera. Di pulau Sumatera, rata-rata per tahun perkembangan perkebunan kelapa sawit justru meningkat pada periode 2000-2005, akan tetapi pada periode 2005-2010 justru menurun. Perkembangan pembangunan kelapa sawit di pulau Sumatera menurun pada periode 2005-2010 diperkirakan akibat semakin terbatasnya lahan yang tersedia yang dapat dikonversi menjadi perkebunan sawit. Sedangkan di pulau Jawa pengembangan perkebunan kelapa sawit hanya dilakukan di areal bekas perkebunan (karet) dengan wilayah pengembangan meliputi Jawa Barat dan Jawa Timur. Untuk wilayah lainnya, yaitu Papua, ketertarikan investor untuk mulai berinvestasi kelapa sawit masih lebih kecil jika dibandingkan dengan perkembangan kelapa sawit di pulau Sulawesi yang relatif pesat

Sedangkan dari hasil analisis dengan menggunakan metode overlay antar 2 (dua) data time series, yang kemudian dilanjutkan dengan analisa pivot table terhadap data atributnya untuk mengetahui pola pengembangan kelapa sawit, diperoleh hasil bahwa secara umum pengembangan kelapa sawit di Indonesia pada periode 1990 s.d 2000 masih berasal dari lahan hutan, lahan terlantar (waste land) dan lahan pertanian. Kemudian, berdasarkan hasil analisis seperti tersaji pada Gambar 1 menunjukkan bahwa pada periode 1990-2000 pengembangan kelapa sawit terbanyak berasal dari hutan, baik berupa hutan sekunder (disturbed forest) maupun hutan primer (undisturbed forest).

Hutan sekunder yang telah berubah menjadi sawit pada periode tersebut mencapai 951 ribu ha dan 61% diantaranya berasal dari hutan sekunder di Sumatra. Kemudian yang berasal dari hutan primer seluas 103 ribu ha dimana 92 ribu ha di antaranya berasal dari hutan primer Sumatra. Sementara perkebunan kelapa sawit yang dikembangkan dari areal pertanian, lahan tidak terpakai, dan lahan yang diperuntukkan untuk hutan tanaman (timber plantation), masing-masing seluas 455 ribu ha, 452 ribu ha, dan 452 ribu ha. Dari ketiga tutupan lahan yang telah disebutkan sebelumnya, luasan lahan tidak terpakai yang dikembangkan menjadi area perkebunan kelapa sawit terbesar berasal dari Kalimantan dengan jumlah 57% dari total luas lahan tak terpakai. 

Gambar 1 menunjukkan bahwa periode 2000-2005 perubahan penutupan lahan menjadi kelapa sawit mencapai 2,2 juta ha. Perubahan penutup lahan ini didominasi oleh tipe penutupan lahan pertanian. Perubahan lahan pertanian menjadi area perkebunan kelapa sawit mencapai 1,5 juta ha. Kemudian, perubahan tutupan lahan dari pertanian menjadi perkebunan kelapa sawit terbesar terjadi di Sumatra yang mencapai 1,44 juta ha. Perubahan lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit mencapai 404 ribu ha, dimana 361 ribu ha di antaranya berasal dari hutan sekunder dan 43 ribu ha lainnya berasal dari hutan primer. Dari total luas perubahan lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, seluas 329 ribu ha berasal dari hutan sekunder Kalimantan dan 256 ribu ha berasal dari hutan sekunder Sumatra, sementara sisanya berasal dari Sulawesi dan Papua.

Sedangkan pada periode 2005-2010 luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 8 juta ha, hal ini berarti terjadi peningkatan luas hingga 2,83 juta ha. Perubahan penutupan lahan ini didominasi oleh tipe penutupan lahan pertanian yang mencapai 1,3 juta ha, dimana pulau Sumatra merupakan daerah yang mengalami perubahan tutupan lahan paling besar, yaitu seluas 1,25 juta ha. Kemudian perubahan tutupan lahan terbesar selanjutnya adalah hutan yang terganggu (disturbed forest) seluas 340 ribu ha, sedangkan pada tipe penutupan lahan marginal (waste land) pada periode ini mencapai 206 ribu ha.

Berdasarkan gambar 1 secara umum menunjukkan bahwa selama periode 1990-2000 adalah periode terbesar perkebunan kelapa sawit dibuka dari hutan primer, tetapi menurun selama periode 1990-2000 dan 2000-2010. Studi ini menunjukkan bahwa pengembangan kelapa sawit di Indonesia lebih dari dua dekade tidak selalu dibuka dari hutan primer dan hutan sekunder. Periode 2005-2010, pengembangan kelapa sawit terbesar justru terjadi dari lahan pertanian, diikuti selanjutnya dari hutan sekunder dan lahan marginal. Hasil analisis ini kemudian menunjukkan hasil yang berbeda dengan studi sebelumnya yang menunjukkan bahwa lebih dari 56% perkebunan kelapa sawit di Indonesia dibangun dengan konversi kawasan hutan (Koh dan Wilcove, 2008).

Artikel ini pernah ditampilkan dalam jurnal ilmiah Universitas Negeri Jakarta

Advertisements

Artikel Terkait Lainnya

JAKARTA – Manajer Program Hukum dan Masyarakat Epistema Institute, Yance Arizona mengutarakan, eksistensi masyarakat adat sangat perlu diakui negara. Bahkan, tak cukup hanya pengakuan. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 dilapanagn faktanya masih banyak terjadi pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat. Yance menyatakan, kalau sebelumnya hutan adat adalah hutan negara, setelah putusan MK 35/2012, hutan adat adalah […]

Advertisements Medan – Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan proses eksekusi lahan sawit milik pengusaha DL Sitorus seluas 47 ribu ha di Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara, sudah selesai. Kejaksaan Agung sudah menyerahkan lahan tersebut kepada Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. “Perkara DL Sitorus menyangkut barang bukti seluas 47 ribu ha sudah diserahkan secara […]

KOTA KINABALU – Menteri Sains, Teknologi dan Inovasi, Datuk Ewon Ebin mengatakan, salah satu dari tiga proyek yang memanfaatkan minyak sawit atau biorefinery di Sabah dan Sarawak, telah disetujui oleh komite Bioeconomy Transformation Programme (BTP). Genting Plantations Berhad bakal berkolaborasi dengan Elevance Renewable Sciences, sebuah perusahaan kimia asal Amerika Serikat, untuk membangun biorefinery. Seperti tulis […]

Advertisements Amerika Serikat – Merujuk laporan Lembaga Swadaya Masyarakat Lingkungan dunia, Forest Heroes, menuding perusahaan sawit PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) bertaggung jawab terhadap kerusakan hutan tropis. Sebelumnya PT Astra Agro Lestari Tbk telah berjanji tidak bakal membangun perkebunan kelapa sawit di hutan tropis, tetapi Forest Heroes menganggap janji PT Astra Agro […]

HERSHEY – Perusahaan Hershey, April 2015 melaporkan hasil penggunaan bahan baku dari sumber minyak sawit berkelanjutan, yang didukung lewat kerjasama strategis dengan The Forest Trust (TFT). Tercatat Harshey, telah menggunakan minyak sawit berkelanjutan sebanyak 94% dari semua pabrik yang menggunakan minyak sawit secara global. Kabarya Harshey, sedang melakukan pemetaan rantai pasok hingga ke perkebunan, yang […]